Selasa, 28 Januari 2014

Klenik Politik

KETIKA Komisi Pemilihan Umum (KPU) menetapkan partai politik peserta Pemilu 2014 dan nomor urutnya setahun lalu (14 Januari 2013), para elite partai-partai politik di Tanah Air berlomba memberikan makna atas nomor yang didapatkannya.
Partai Nasional Demokrat (Nasdem), misalnya, yang mendapatkan nomor urut satu merasa paling bahagia. Mereka menghubungkan dengan mitos-mitos keberuntungan. Bagaimana tidak, sebagai partai baru dan satu-satunya partai yang lolos persyaratan administrasi dan verifikasi faktual, nomor urut satu adalah langkah awal yang baik melaju baik pada pemilu 2014. 
Demikian pula Partai Keadilan Sejahtera (PKS). Presidennya, Luthfi Hasan Ishaaq (LHI), mensyukuri nomor tiga sebagai berkah karena mudah menyosialisasikan ke publik, tinggal mengacungkan tiga jari dengan cara apapun: tiga jari berderet di tengah atau bergaya metal. Sayang keberuntungan nomor urut partainya tidak diikuti keberuntungan dirinya karena ditangkap oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) beberapa hari kemudian.
Partai Golongan Karya (Golkar) yang secara ‘DNA’ adalah partai sekuler pun memistifikasi nomor lima dengan makna simbolisme religius. Dalam sebuah diskusi, Nudirman Munir, menganalogikan dengan rukun Islam dan shalat lima waktu sehari semalam.
Partai Demokrat pun begitu. Nomor tujuh yang didapatkannya dianggap angka keberuntungan, terhubung antara mitologi Islam dan Eropa. Dalam Islam angka tujuh sangat sering disebutkan, termasuk penciptaan langit dan bumi. Dalam mitologi Eropa angka tujuh kerap dihubungkan dengan angka keberuntungan (the lucky number). “Partai Demokrat harus mampu membumbung tinggi hingga ke langit ke tujuh,” ujar Nurhayati Ali Assegaf (Kompas.com, 8/7/2013).
Bagaimana dengan Partai Aceh (PA) yang mendapatkan nomor 13 yang dianggap angka sial? Tidak ada komentar dari pimpinan PA, kecuali apologi dari juru bicara partai bahwa nomor itu penuh berkah. Susah kita menerima keberkahan nomor 13, seolah-olah itu menjadi kebenaran aksiomatik. Secara faktual tak ada orang yang sudi menggunakan angka itu secara sukarela. Silakan periksa di seluruh rumah, tidak ada yang memakai angka 13, demikian pula lantai bangunan dan juga kamar hotel.
Ada unsur mistik dan horor yang menggelayuti angka itu. Apalagi kalau angka 13 dihubungkan dengan hari jumat, sempurna sudah kesialan malam itu- meskipun baru terbukti pada serial film lawas The Friday 13th. Bagi saya sebagai orang Melayu, angka 13 bukan angka sial, karena orang-orang tua dulu menyebutkan, “hancur klehar, celaka dua belas”, bukan tiga belas.
 Mitos Bahasa
Adalah Claude Levi-Strauss, seorang filsuf antropo-linguistik dan pengusaha pakaian berbahan jins, menyebutkan fungsi bahasa, bukan hanya menyebarkan pesan dan simbol, tapi juga mitos. Bahasa sebagai tanda bukan hanya berperan menghubungkan petanda (signified) sebagai ide untuk memaknai penanda (signifier), tapi juga membelokkannya menjadi bentuk (form) dan konsep (concept). Konsep yang disebutkan di sini tidak berfungsi sebagai makna (signification) pada level pertama bahasa, tapi level kedua, yaitu ketika makna diambil alih, “dirampok”, dan diberikan makna baru, di luar makna denotatif atau kamus.
Itulah yang kemudian disebutkan sebagai mitos. Dalam tradisi di era totem dan tabu, mitos dijadikan bentuk pengawalan moral dan penyiraman pengetahuan masyarakat. Namun jangan salah, masyarakat modern juga mengonsumsi mitos. Contohnya, “mitos tas mahal” Channel dan Hermes yang sudi dibeli oleh para sosialita hingga ratusan juta rupiah. Tas Hermes Ratu Atut Choisiyah yang disita oleh KPK berharga Rp 1,4 miliar. Betapa mitos menggerogoti sistem logika kebahasaan tentang kualitas terbaik, terkuat, paling elegan, dan “ter-paling” lainnya hingga melawan akal sehat.
Dalam politik hal itu juga beroperasi. Terlalu banyak mitos yang kini bergelayut di ruang publik, sehingga menyebabkan masyarakat kehilangan kesadaran, kritisisme, mengonsumsi cerita bikinan dan rekaan, melumpuhkan motif untuk bertindak atas dasar-dasar rasional dan kalkulatif. Politik kita tak kurang kleniknya (political superstition). Orang memilih Partai Demokrat pada Pemilu 2009 karena percaya mitos ampuh anti-korupsi, karenanya PD berhasil mendulang 20,4% suara. Demikian juga keberhasilan PKS menjadi “partai Islam paling mengejutkan” pada Pemilu 2009 dengan meraup 7,8% karena mitos “bersih dan peduli”.
Tak lupa pula di Aceh, kemenangan Partai Aceh (PA) pada 2009, di samping kerja-kerja politik mobilisasi, juga bergeraknya mitos komunikasi, seperti: “Satu-satunya partai yang mengawal perdamaian Aceh; Wareh nanggroe; Miseue kon PA mandum gob, dan sebagainya”. Kemenangan Zaini Abdullah-Muzakkir Manaf pada Pilkada 2012 mengalahkan para incumbent tak lepas dari “klenik 21 janji” yang sangat membius. Apakah bahasa mitos itu perlu menjadi aktual, dalam politik riil tidak penting, karena tujuannya adalah bekerjanya komunikasi klenik dalam membangun “pengetahuan baru” di kepala publik dan menyingkirkan rasionalitas umum.
 Anti-tesis mitos 
Pertanyaannya, seberapa lama sebuah klenik politik itu bisa bertahan? Hal itu tergantung seberapa “rasional”, terbukti, nyaman, dan kuat klenik itu tertanam di hati dan pikiran publik. Namun banyak bukti politik klenik hancur dan tercerai-berai oleh anti-tesis mitos baik dalam praksis-aktual atau dalam bahasa baru.
Awalnya kita terkejut (tapi kini tidak lagi) bahwa klenik anti-korupsi Demokrat hancur oleh mantra pembersihan korupsi KPK. Demikian pula klenik bersih dan peduli PKS nampaknya tidak berhasil mempertahankan prestasi elektoralnya pada pemilu 2014 akibat kasus impor sapi dan LHI. Dari hasil survei terakhir Kompas yang dirilis pada 7 Januari lalu misalnya, mitos dan takhyul politik yang selama ini menjadi latar depan partai-partai politik tersebut tidak lagi mencengkeram pikiran publik. PD kini meluncur menjadi partai nomor empat (7,2%), sedangkan PKS menjadi partai yang ditinggalkan dua pertiga pemilihnya (2,3%).
Sayang, banyak survei yang dilakukan selama ini tidak melibatkan partai politik lokal di Aceh. Kita tidak mengetahui seberapa kuat dan seberapa besar persentasi PA pada Pemilu 2014 ini. Sebagai the rulling party, PA tentu mengalami proses “denaturalisasi mitos” dan delegitimasi politis ketika dianggap gagal membahasakan kepentingan publik Aceh secara luas.
Publik tentu merekam setiap tingkah-polah para politikus PA di dalam atau di luar parlemen, sejauh mana bermakna untuk rakyat atau untuk politik perkauman. Publik tentu sedang mendedah mitos perdamaian, apakah cukup rasional? Ataukah bisa bergerak lebih jauh lagi seperti janji-janji kampanye yang disampaikan Zaini-Mualim: Menuju Aceh yang sejahtera dan berdaulat?
Ataukah, secara faktual Aceh masih provinsi kecil-medioker yang dalam banyak hal tak bisa “merdeka” dari Medan sekalipun? Tapi percayalah, klenik politik akan kalah oleh rasionalisasi politik dan politik empiris. Sejarah sudah mencatat berulang-ulang, di banyak tempat dan waktu.

Dana Hibah dan Rakyat Miskin

MISKIN di tengah kekayaan, tikus mati di lumbung padi. Mungkin kalimat ini sangat hiperbolis, namun jika terus-menerus salah kelola, maka rakyat Aceh akan terus berada dalam situasi tersebut. Seharusnya, setelah perdamaian tercapai, dengan gelontoran dana puluhan triliun rupiah telah membuat kebanyakan rakyat Aceh yang melarat, menjadi lebih sejahtera hidupnya dibanding masa-masa konflik. Jadi, bukan tidak mungkin Aceh nantinya akan mengulangi tragedi Aceh Utara yang pernah dijuluki sebagai “negeri petro dolar”, namun ternyata desa-desa miskin terbanyak, ada di sana.
Gambaran pesimistis di atas, mengingatkan penulis terhadap apa yang pernah disampaikan oleh Prof Dr Raja Masbar. Pada November 2013 lalu, guru Besar Fakultas Ekonomi Unsyiah itu menyebutkan beberapa anomali pembangunan Aceh. Alokasi dana untuk sektor pendidikan meningkat, namun Aceh adalah provinsi dengan tingkat ketidaklulusan UN terbanyak di Indonesia. Alokasi dana untuk sektor kesehatan juga meningkat, namun angka kematian bayi dan ibu di Aceh juga meningkat. Dana untuk infrastruktur sangat besar, namun tak menjangkau kawasan pedalaman. Penyebab semua itu hanya satu, kata Prof Masbar, karena salah perencanaan dan lemahnya pengawasan.
 Penduduk miskin
Angka yang dikeluarkan oleh Badan Pusat Statistik (BPS) Aceh, jumlah penduduk miskin di propinsi paling barat Sumatera ini adalah sebesar 856.000 jiwa (17,72%) dari jumlah penduduk Aceh yang berjumlah 4,8 juta jiwa. Angka ini meningkat dibandingkan angka pada 841.000 jiwa pada Maret 2013. Namun dibandingkan dengan posisi September 2013, angka kemiskinan justru turun 0,86% dari sebelumnya 877.000 orang. Kemudian, bila dibandingkan 2009 yang jumlah rakyat miskin mencapai 892.86 jiwa (21,80%), maka jumlah penduduk miskin di Aceh jauh sekali menurun (Serambi, 4/1/2014).
Namun, statistik tetaplah statistik. Kondisi di lapangan jauh berbeda. Saya tak bermaksud menafikan angka yang dilansir oleh badan sehebat BPS itu, tetapi ada fenomena yang menurut saya sangat luar biasa, yaitu sebanyak apapun jumlah penurunan orang miskin di Aceh, tetap saja orang-orang yang menyandang predikat miskin adalah mereka yang telah hidup miskin puluhan tahun. Bahkan sudah mewarisi kemiskinan itu ke beberapa generasi, sebagaimana saya sebutkan di atas. Kalau demikian adanya, di mana letaknya penurunan angka kemiskinan, toh penduduk miskin di Aceh hanya orang-orang itu saja?
Kalaulah boleh jujur --sebab menjadi orang jujur di Aceh banyak tantangannya-- selama ini tidak ada perbaikan taraf hidup rakyat di Aceh secara masif. Yang berbeda adalah tidak ada lagi salak senapan yang bersahut-sahutan, sebagai pertanda bahwa RI dan GAM sedang bertempur. Akan tetapi, bila melihat kondisi ekonomi rakyat, tidak ada yang berubah, baik di masa perang maupun di saat damai. Kalau tidak percaya, silahkan telisik ke tengah-tengah masyarakat. Berapa harga gabah mereka hari ini? Berapa harga pinang, kelapa, kangkung, jagung, kacang dan lain-lain hasil penen mereka hari ini? Cukupkah harga dua goni gabah siap jual untuk bertahan hidup selama sebulan? Artinya, kondisi keuangan rakyat Aceh saat ini tidak stabil. Pendapatan selalu lebih kecil dengan pengeluaran. Berbagai cara hemat yang pernah dituliskan di berbagai buku telah dipelajari, namun tetap tidak membantu. Apakah Pemerintah Aceh melihat ini? Saya belum bisa mengukur kinerja Zaini-Muzakir selama setahun ini, namun bukan berarti tidak bisa dinilai sama sekali. Sekali lagi, kalau boleh jujur, program pembangunan yang dijalankan belum menjawab persoalan rakyat. Pembangunan yang dilakukan selama ini, lebih banyak pro kepada kepentingan perorangan dan kelompok, sedangkan masalah rakyat berupa kemandekan ekonomi, belum mampu dijawab.
Pemerintah memang punya visi, namun visi itu hanya berjangka pendek, dan hanya fokus pada pemberdayaan kelompok, belum kepada rakyat secara keseluruhan. Benar bahwa di pemerintahan Aceh sekarang ini, terdapat banyak staf/tenaga ahli, termasuk dari kampus, yang seharusnya membuat Aceh lebih baik. Namun orang-orang ahli ini sering juga hanya ahli memikirkan apa yang dapat dikeruk dari keahliannya itu untuk kepentingan diri sendiri. Karena itu, meskipun ada yang salah dalam perencanaan dan penyimpangan dalam implementasi proyek-proyek pembangunan, para staf ahli atau tenaga ahli tersebut, akan diam seribu bahasa. Jika bicara, periuk nasi mereka akan terganggu.  
Aceh miskin karena rezim masa lalu? Bisa jadi benar, namun rezim yang sekarang juga tak bisa lepas tangan. Mencuatnya berbagai persoalan seputar dana hibah atau dana bantuan sosial (bansos), kentara sekali pada rezim baru ini. Dana itu triliunan jumlahnya, namun pemerintah miskin visi dan tak becus secara misi dalam tata kelola dana itu. Pemerintah lebih mendorong keinginan, bukan kebutuhan, lebih bersifat proyek mercusuar dibanding pengentasan kemiskinan. Bahkan, dana itu sering untuk melayani kepentingan kelompok dibanding keseluruhan rakyat Aceh.
Mengamuknya sebagian pemilik proposal bantuan dana sosial beberapa waktu lalu, di Kantor Gubernur Aceh, mesti menjadi cermin bagi para pengambil kebijakan, bahwa membagi-bagikan uang secara cuma-cuma bukanlah solusi yang cerdas. Demikian juga pengalokasian anggaran rakyat yang gila-gilaan terhadap institusi Wali Nanggroe dan hibah untuk Badan Penguatan Perdamaian Aceh (BP2A), mesti dikaji ulang. Untuk WN misalnya, apa masuk akal biaya perjalanan dinas mencapai Rp 14 miliar dalam setahun, yang berarti menghabiskan Rp 1,7 miliar per bulan? Demikian pula alokasi dana Rp 80 miliar untuk BP2A, terkesan begitu tak transparan dan akuntabel.
 Koreksi tertulis
Mendagri Gamawan Fauzi sampai harus memberi koreksi secara tertulis untuk WN dan BP2A ini. Beberapa LSM juga sudah mengingatkan potensi kerugian Aceh jika salah perencanaan dan keliru implementasi dana-dana tersebut. Namun sayangnya, reaksi pemerintah, khususnya reaksi Ketua BP2A, Humas Pemerintah Aceh, dan anggota dewan, kritik LSM itu digiring ke luar substansi. Kritik sebenarnya lebih diarahkan kepada efisiensi, agar suatu saat tak ada pejabat Aceh yang digaruk oleh KPK, namun oleh pemerintah dan anggota dewan itu, kritik malah digiring ke pembangunan opini bahwa seolah-olah yang mengeritik tidak mendukung Aceh Damai.
Pemerintah Aceh harus belajar dari salah urus BRA dulu; sekitar dua triliunan rupiah dana di bawah kelolaan BRA, namun tak berimbas positif kepada ekonomi penerima bantuan. Yang kaya hanya yang bekerja di BRA. Saat ada program bantuan rumah dan ekonomi pun, di bawah sana dana-dana itu masih disunat oleh oknum-oknum yang merasa sudah berjasa saat perang dulu. Audit terhadap dana itu juga tak dilakukan, akses data terhadap siapa saja penerima bantuan, juga sulit. Banyaknya anggaran yang bersifat hibah juga tidak menjawab persoalan kemiskinan rakyat Aceh. Malah semakin banyak hibah anggaran diberikan, maka semakin banyak oknum-oknum yang akan kaya mendadak. Sedangkan rakyat lainnya, tetap saja hidup miskin dan melarat, bodoh dan mudah sekali dipanas-panasi.
Sebagai penutup, saya berharap, Pasangan Zaini-Muzakir haruslah menjadi pemimpin bagi seluruh rakyat Aceh yang dihimpun oleh berbagai suku dan budaya. Pesan saya kepada mereka berdua, perhatikanlah kami rakyat kecil. Kami butuh kerja, kami butuh uang. Kami ingin sejahtera. Jadi tolong carikan pasar untuk produk-produk kami. Carikan industri untuk hasil alam kami. Sebab sejarah sudah membuktikan bahwa kami tidak bisa sejahtera dengan banyaknya gas alam dan minyak bumi di bawah rumah kami. Kami rakyat tidak bisa kaya dengan banyaknya emas dan triliunan anggaran yang dipunyai oleh Aceh. Bahkan, kami tidak bisa sejahtera, padahal berbagai macam dana hibah dan anggarannya gila-gilaan pernah ada di Aceh.

Ketika Agama Menjadi Komoditas Politik

TAHUN 2014 ini memiliki suasana yang berbeda dari tahun-tahun lainnya. Ini dikarenakan 2014 adalah tahun politik, saat pesta demokrasi bernama pemilu legislatif dan pemilihan presiden akan digelar. Wajar, sejumlah kalangan (media massa, penguasa, atau masyarakat) ramai-ramai membicarakannya. Khusus untuk orang-orang partai politik, tahun ini adalah saat segala bentuk strategi politik dimuntahkan untuk meraih sebanyak mungkin kepercayaan dari masyarakat, termasuk memanfaatkan simbol-simbol agama sebagai mesin untuk merenggut simpati publik. Inilah yang menjadi fokus kajian tulisan ini.
Dalam hal pemanfatan simbol agama dalam kampanye sebagai strategi politik ini, Wakil Sekretaris Jenderal Pengurus Besar Nahdlatul Utama, Adnan Anwar dan Ketua Umum Pimpinan Pusat Pemuda Muhammadiyah, Saleh P Daulay Senin (6/1) dua lalu mengharapkan kampanye pemilu yang dilakukan partai politik, termasuk caleg, tidak lagi memanfaatkan simbol dan sentimen agama untuk pemenangan di Pemilu 2014. Kampanye hendaknya mengutamakan gagasan dan program kerja untuk mengatasi persoalan nyata di masyarakat.
 Nihilisme politik
Memang, partai-partai politik beserta orang-orangnya sejak dulu suka menggembar-gemborkan hal-hal yang bersifat abstrak, misalnya nilai-nilai keagamaan, tanpa mau mengimplementasikan nilai-nilai yang luhur tersebut ke dalam tataran praktis. Mereka lebih senang membius para calon pemilih dengan omongan-omongan sakral yang pada hakikatnya adalah profan. Profonitas ini dibuktikan dengan ketidakmampuan dan ketidakmauan para calon pejabat, setelah menjadi pejabat, menjalankan perkataan-perkataan transendental tersebut. Di sinilah saya melihat nihilisme politik sekaligus nihilisme agama semakin terlihat, suatu keadaan politik dan agama tanpa makna.
Sejauh pengamatan saya, partai-partai politik di negeri ini, baik yang berideologi keagamaan maupun nasionalis, yang mengusung simbol-simbol agama sebagai senjata kampenye terbukti dalam sejarah tidak menjalankan apa yang pernah mereka ucapkan. Perkataan-perkataan religius hanyalah kedok yang digunakan untuk menutupi akal bulus dan menipu rakyat. Pada satu sisi, di atas panggung, mereka lantang berteriak “Allahu Akbar”, misalnya. Namun di sisi lain, mereka gemar melakukan korupsi. 
Inilah budaya politik yang dimainkan para politikus kita akhir-akhir ini yang kian menunjukkan budaya politik yang sangat rendah, miskin jiwa idelalisme keagamaan. Serangkaian akitivitas politik yang dilakukan politikus baik di tingkat legislatif, eksekutif maupun yudikatif kian melenceng jauh dari budaya luhur politik bernuansa ketuhanan. Akibatnya, mereka gampang terjerat oleh politik hasrat kepentingan diri dan kelompok (partai)-nya.
Hal ini juga bisa kita lacak misalnya, berbagai tindakan politik yang dilakukan para politikus dalam menjalankann roda pemerintahan. Mereka sudah tidak lagi mengedepankan kepentingan rakyat banyak, melainkan sudah terperosok pada kepentingan diri dan kelompoknya yang tidak jarang melukai hati nurani rakyat. Khusus partai-partai berideologi agama (misalnya Islam), mereka masih terus menyuarakan misi Islamnya dan bertekad menyejahterahkan rakyat meski tanpa bukti nyata. Padahal, rakyat mendambahkan wujud nyata nilai-nilai Islam ke dalam tatanan kebangsaan dan kenegaraan.
Di sinilah orang-orang dari partai dituntut menerapkan kembali budaya politik dalam berpolitik agar tercapai kemakmuran dan kesejahteraan seluruh rakyat Indonesia. Budaya politik Islam harus membumi ke dalam jiwa-jiwa para politikus Islam di tengah gempuran budaya politik yang semakin rendah dan remeh temeh tersebut.
 Teologi pembebasan
Menurut hemat saya, orang-orang partai Islam perlu membumikan teologi pembebasan. Ini mengandung makna bahwa partai-partai Islam harus mau memperjuangkan keadilan bagi semua dan melawan segala bentuk penindasan. Orang-orang partai harus pandai menggali nilai-nilai dari ajaran Islam, terutama bersumber dari Alquran dan Hadis, untuk dijadikan pedoman, prinsip, dan asas memperjuangkan kemaslahatan umat manusia. Sayangnya, orang-orang partai Islam sekarang tidak banyak yang mau menerapkan teologi pembebasan sebagai satu semangat Islam tersebut.
Agenda pemberantasan korupsi, suap, penyucian uang, gratifikasi seks, misalnya, harus menjadi perhatian utama partai-partai berideologi Islam. Partai-partai Islam tersebut diharapkan mampu menjadi garda terdepan dalam mengatasi persoalan-persoalan bangsa tersebut. Justru, yang terjadi sekarang adalah kader partai Islam terlibat korupsi. Ini tentu saja sama sekali tidak mencerminkan perilaku partai religius (Islam).
Ketidakadilan ekonomi yang menyebabkan rakyat miskin harus menjadi perhatian utama partai-partai berideologi Islam. Para pemimpin partai Islam harus mampu mewujudkan cita-cita luhur Islam tersebut dalam tatanan kebangsaan dan kenegaraan. Mereka harus hadir di tengah kesulitan ekonomi yang menimpa mereka yang kurang beruntung. Menciptakan lapangan pekerjaan atau memberdayakan orang-orang miskin adalah wujud nyata dari kiprah partai berideologi Islam.
Saya berkeyakinan, partai-partai Islam akan mendulang banyak suara di Pemilu 2014 mendatang kalau segenap komponen partai (pemimpin atau para kader) memiliki kesadaran tinggi membangun kembali partainya yang betul-betul berlandaskan ideologi Islam tersebut. Partai-partai politik Islam bisa menerapkan teologi pembebasan, misalnya pembebasan kebodohan, ketidakadilan, kesewenang-wenangan, kemiskinan, korupsi, dan sebagainya.
Jadi, saya kira, pemimpin-pemimpin atau kader partai Islam tidak perlu menyuarakan atau berkoar-koar kepada publik bahwa partainya berideologi agama (Islam). Cukup, mereka membuktikan kepada rakyat bahwa ideologi yang diusung tersebut (ideologi Islam) mampu menyejahterahkan seluruh rakyat Indonesia dan mampu membebaskan segala bentuk persoalan bangsa (ekonomi, politik, pendidikan, hukum, sosial, dan sebagainya). Inilah hakikat partai Islam yang masih perlu diperjuangkan oleh para kadernya di tengah ketidakjelasan ideologi partai-partai saat ini.

Manusia; Khalifah Penjaga Alam

JIKA kita bisa mendengar, mungkin bumi sedang berteriak dengan segenap kemarahannya kepada kita, manusia. Betapa serakahnya kita sehingga bumi tempat kita hidup, tempat kita menginjakkan kaki, tempat kita bermain dan bersenang-senang, murka. Pernahkah kita merenungi mengapa bencana alam kerap melanda dan menghampiri kita, seperti gempa bumi, letusan gunung berapi, hingga banjir besar yang melanda beberapa daerah di Tanah Air, dan di berbagai belahan dunia lainnya?  
Manusia adalah salah satu makhluk yang hidup di planet bumi dan selalu melakukan interaksi dengan alam atau lingkungan sekitarnya. Untuk memenuhi kebutuhan hidup, manusia memanfaatkan sumber daya alam, sehingga manusia adalah makhluk yang paling berpengaruh terhadap alam. Bisa saja manusia membawa pengaruh positif atau pengaruh negatif untuk keberlangsungan kehidupan di bumi ini.
Sifat manusia yang serakah dengan memanfaatkan sumber daya dalam jumlah besar dan tidak terukur, dapat menurunkan kualitas lingkungan hidup. Dapat dicontohkan pada peristiwa pembalakan liar (illegal logging) yang dilakukan secara serampangan oleh beberapa perusahaan kayu atau kertas (pulp) yang tanpa reboisasi atau jumlah yang ditanam kembali tidak sesuai dengan yang ditebang. Hal ini menyebabkan gundulnya hutan dan membawa bencana banjir serta longsor yang merugikan semua makhluk hidup.
 Khalifah di bumi
Padahal, sejatinya kita semua adalah khalifah di muka bumi ini, yang wajib menjaga kelestarian lingkungan, sebagaimana firman Allah Swt: “Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat: Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi. Mereka (para malaikat) berkata: Mengapa Engkau hendak menjadikan (khalifah) di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah, padahal kami senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan mensucikan Engkau? Tuhan berfirman: Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui.” (QS. Al-Baqarah: 30).
Islam merupakan agama yang memandang penting akan tingkah laku seseorang terhadap lingkungan yang merupakan wujud dari keimanan manusia kepada Tuhannya (Allah Swt). Islam mengatur konsep tentang pelestarian lingkungan dengan sangat komplit. Manusia telah dipilih oleh Allah di muka bumi ini sebagai khalifah (khalifatullah fil’ardh), yang berarti sebagai wakil Allah di bumi.
Sebagai wakil Allah, manusia wajib untuk bisa merepresentasikan dirinya sesuai dengan sifat-sifat Allah. Satu sifat Allah tentang alam adalah sebagai pemelihara atau penjaga alam (rabbul’alamin). Jadi sebagai wakil (khalifah) Allah di muka bumi, manusia harus aktif dan bertanggung jawab untuk menjaga bumi. Artinya, menjaga keberlangsungan fungsi bumi sebagai tempat kehidupan makhluk Allah, termasuk manusia sekaligus menjaga keberlanjutan kehidupannya.
Kehidupan manusia memang sangat bergantung pada alam. Manusia memiliki hak untuk memanfaatkan kekayaan alam dalam rangka pemenuhan kebutuhan hidup, tapi dengan catatan tidak berlebihan dan dalam skala yang wajar. Allah berfirman: “Dan Dialah yang menjadikan kebun-kebun yang berjunjung dan yang tidak berjunjung, pohon kurma, tanam-tanaman yang bermacam-macam buahnya, zaitun dan delima yang serupa (bentuk dan warnanya) dan tidak sama (rasanya). Makanlah dari buahnya (yang bermacam-macam itu) bila dia berbuah, dan tunaikanlah haknya di hari memetik hasilnya (dengan disedekahkan kepada fakir miskin); dan janganlah kamu berlebih-lebihan. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang yang berlebih-lebihan.” (QS. Al-An’am: 141).
Namun apa yang terjadi sekarang? Jika kita bisa mendengar, mungkin bumi sedang berteriak dengan segenap kemarahannya kepada kita! Betapa serakahnya manusia! Apakah kalian tidak pernah berpikir panjang? Dimana kalian hidup, menginjakkan kaki, bermain, bersenang-senang?! Di BUMI.!! Lalu kenapa seakan-akan kalian tidak peduli dan bertingkah seenaknya!? Begitulah kira-kira pelampiasan perasaan bumi terhadap kita.
Padahal, kita semua hidup di bumi. Tapi hanya sebagian kecil yang berperan sebagai khalifah di muka bumi ini. Sementara sebagian besar lainnya memilih mengeruk sumber daya alam secara besar-besaran untuk kepentingan dirinya sendiri dan tidak mau peduli akibat yang ditimbulkan dari keuntungan yang diperolehnya setelah merusak alam. Allah berfirman: “Dan Dia-lah (Allah) yang menjadikan kamu penguasa-penguasa di bumi dan Dia meninggikan sebahagian kamu atas sebahagian (yang lain) beberapa derajat, untuk mengujimu tentang apa yang diberikan-Nya kepadamu. Sesungguhnya Tuhanmu amat cepat siksaan-Nya dan sesungguhnya Dia Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (Al an’am 165).
Semua bencana yang terjadi adalah peringatan Allah Swt kepada kita, agar kita menyadarinya dan berusaha untuk memperbaiki diri. Hal ini seperti yang disebutkan Allah Swt dengan firmanNya: “Telah nampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusia, supaya Allah merasakan kepada mereka sebagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar).” (QS. Ar-Ruum: 41).
Banyak hal yang bisa kita lakukan sendiri dan bisa bermanfaat untuk lingkungan. Dengan menghemat energi (listrik, air dan bahan bakar), kita telah mengurangi dampak kerusakan lingkungan. Hal tersebut bisa kita lakukan dalam aktivitas sehari-hari seperti menggunakan listrik sesuai kebutuhan, mematikan lampu di ruangan/kamar yang sedang tidak perlu untuk diterangi, mematikan AC saat tidak dibutuhkan, mencabut stop kontak pada alat elektronik (televisi, komputer, mesin cuci, charger hp, dll) yang sedang tidak dipakai, atau dengan memakai lampu dan peralatan elektronik yang hemat energi.
Untuk menghemat air dapat dilakukan dengan mudah yaitu tidak pernah lupa mengontrol dan mematikan keran air jangan sampai merembes, hemat air saat mencuci dan saat mandi dengan menggunakan air secukupnya dan tidak berlebihan. Menghemat bahan bakar cukup dengan berpikir sebelum melakukan perjalanan. Tentukan jalur tempuh yang paling pendek ke lokasi tujuan, atau dengan menstabilkan jalannya kendaraan kita juga bisa menghemat bahan bakar minyak (BBM).
 Menjaga lingkungan
Selain itu, beberapa aktivitas untuk menjaga lingkungan yaitu dengan membiasakan diri membuang sampah pada tempatnya, menghemat penggunaan plastik saat berbelanja dengan membawa tas belanja, juga menghemat sampah plastik dengan tidak banyak membeli barang yang terbungkus plastik/sachet, membiasakan untuk membawa botol minum isi ulang, juga menghemat penggunaan tissue, sampai rajin menanam pohon di rumah masing-masing. Bisa juga bergabung dengan komunitas lingkungan agar kita dapat melakukan aksi besar secara bersama-sama.
Bayangkan saja jika aktivitas positif menjaga bumi tersebut kita lakukan secara rutin; Berapa jumlah energi yang telah kita kurangi penggunaannya? Berapa biaya yang dapat kita hemat perbulannya? Dan yang lebih luar biasa lagi ketika semua orang di dunia melakukannya. Pasti kita akan mendapat manfaat yang signifikan untuk keadaan bumi yang lebih baik. Subhanallah, sungguh kita menciptakan rumah yang nyaman bagi diri kita sendiri dan semua makhluk.
Sungguh Allah telah memberikan kita anugerah yang begitu besar, yaitu alam ini dengan segala isinya, yang patut kita jaga. Allah memberi kita kecerdasan dan hati yang seharusnya kita syukuri dengan berbuat baik, bukan malah membuat kerusakan dengan memanfaatkan kecerdasan dan teknologi tanpa berpikir panjang. Kemana hati nurani kita? Yuk, berpikir lebih bijak dan bertindak dengan positif demi kedamaian kehidupan. Semoga kehidupan kita bisa menjadi rahmat bagi alam (rahmatan lil’alamiin) dan sebagai bekal kehidupan di akhirat kelak. Amin ya rabbal’alamin.JIKA kita bisa mendengar, mungkin bumi sedang berteriak dengan segenap kemarahannya kepada kita, manusia. Betapa serakahnya kita sehingga bumi tempat kita hidup, tempat kita menginjakkan kaki, tempat kita bermain dan bersenang-senang, murka. Pernahkah kita merenungi mengapa bencana alam kerap melanda dan menghampiri kita, seperti gempa bumi, letusan gunung berapi, hingga banjir besar yang melanda beberapa daerah di Tanah Air, dan di berbagai belahan dunia lainnya?  
Manusia adalah salah satu makhluk yang hidup di planet bumi dan selalu melakukan interaksi dengan alam atau lingkungan sekitarnya. Untuk memenuhi kebutuhan hidup, manusia memanfaatkan sumber daya alam, sehingga manusia adalah makhluk yang paling berpengaruh terhadap alam. Bisa saja manusia membawa pengaruh positif atau pengaruh negatif untuk keberlangsungan kehidupan di bumi ini.
Sifat manusia yang serakah dengan memanfaatkan sumber daya dalam jumlah besar dan tidak terukur, dapat menurunkan kualitas lingkungan hidup. Dapat dicontohkan pada peristiwa pembalakan liar (illegal logging) yang dilakukan secara serampangan oleh beberapa perusahaan kayu atau kertas (pulp) yang tanpa reboisasi atau jumlah yang ditanam kembali tidak sesuai dengan yang ditebang. Hal ini menyebabkan gundulnya hutan dan membawa bencana banjir serta longsor yang merugikan semua makhluk hidup.
 Khalifah di bumi
Padahal, sejatinya kita semua adalah khalifah di muka bumi ini, yang wajib menjaga kelestarian lingkungan, sebagaimana firman Allah Swt: “Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat: Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi. Mereka (para malaikat) berkata: Mengapa Engkau hendak menjadikan (khalifah) di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah, padahal kami senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan mensucikan Engkau? Tuhan berfirman: Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui.” (QS. Al-Baqarah: 30).
Islam merupakan agama yang memandang penting akan tingkah laku seseorang terhadap lingkungan yang merupakan wujud dari keimanan manusia kepada Tuhannya (Allah Swt). Islam mengatur konsep tentang pelestarian lingkungan dengan sangat komplit. Manusia telah dipilih oleh Allah di muka bumi ini sebagai khalifah (khalifatullah fil’ardh), yang berarti sebagai wakil Allah di bumi.
Sebagai wakil Allah, manusia wajib untuk bisa merepresentasikan dirinya sesuai dengan sifat-sifat Allah. Satu sifat Allah tentang alam adalah sebagai pemelihara atau penjaga alam (rabbul’alamin). Jadi sebagai wakil (khalifah) Allah di muka bumi, manusia harus aktif dan bertanggung jawab untuk menjaga bumi. Artinya, menjaga keberlangsungan fungsi bumi sebagai tempat kehidupan makhluk Allah, termasuk manusia sekaligus menjaga keberlanjutan kehidupannya.
Kehidupan manusia memang sangat bergantung pada alam. Manusia memiliki hak untuk memanfaatkan kekayaan alam dalam rangka pemenuhan kebutuhan hidup, tapi dengan catatan tidak berlebihan dan dalam skala yang wajar. Allah berfirman: “Dan Dialah yang menjadikan kebun-kebun yang berjunjung dan yang tidak berjunjung, pohon kurma, tanam-tanaman yang bermacam-macam buahnya, zaitun dan delima yang serupa (bentuk dan warnanya) dan tidak sama (rasanya). Makanlah dari buahnya (yang bermacam-macam itu) bila dia berbuah, dan tunaikanlah haknya di hari memetik hasilnya (dengan disedekahkan kepada fakir miskin); dan janganlah kamu berlebih-lebihan. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang yang berlebih-lebihan.” (QS. Al-An’am: 141).
Namun apa yang terjadi sekarang? Jika kita bisa mendengar, mungkin bumi sedang berteriak dengan segenap kemarahannya kepada kita! Betapa serakahnya manusia! Apakah kalian tidak pernah berpikir panjang? Dimana kalian hidup, menginjakkan kaki, bermain, bersenang-senang?! Di BUMI.!! Lalu kenapa seakan-akan kalian tidak peduli dan bertingkah seenaknya!? Begitulah kira-kira pelampiasan perasaan bumi terhadap kita.
Padahal, kita semua hidup di bumi. Tapi hanya sebagian kecil yang berperan sebagai khalifah di muka bumi ini. Sementara sebagian besar lainnya memilih mengeruk sumber daya alam secara besar-besaran untuk kepentingan dirinya sendiri dan tidak mau peduli akibat yang ditimbulkan dari keuntungan yang diperolehnya setelah merusak alam. Allah berfirman: “Dan Dia-lah (Allah) yang menjadikan kamu penguasa-penguasa di bumi dan Dia meninggikan sebahagian kamu atas sebahagian (yang lain) beberapa derajat, untuk mengujimu tentang apa yang diberikan-Nya kepadamu. Sesungguhnya Tuhanmu amat cepat siksaan-Nya dan sesungguhnya Dia Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (Al an’am 165).
Semua bencana yang terjadi adalah peringatan Allah Swt kepada kita, agar kita menyadarinya dan berusaha untuk memperbaiki diri. Hal ini seperti yang disebutkan Allah Swt dengan firmanNya: “Telah nampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusia, supaya Allah merasakan kepada mereka sebagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar).” (QS. Ar-Ruum: 41).
Banyak hal yang bisa kita lakukan sendiri dan bisa bermanfaat untuk lingkungan. Dengan menghemat energi (listrik, air dan bahan bakar), kita telah mengurangi dampak kerusakan lingkungan. Hal tersebut bisa kita lakukan dalam aktivitas sehari-hari seperti menggunakan listrik sesuai kebutuhan, mematikan lampu di ruangan/kamar yang sedang tidak perlu untuk diterangi, mematikan AC saat tidak dibutuhkan, mencabut stop kontak pada alat elektronik (televisi, komputer, mesin cuci, charger hp, dll) yang sedang tidak dipakai, atau dengan memakai lampu dan peralatan elektronik yang hemat energi.
Untuk menghemat air dapat dilakukan dengan mudah yaitu tidak pernah lupa mengontrol dan mematikan keran air jangan sampai merembes, hemat air saat mencuci dan saat mandi dengan menggunakan air secukupnya dan tidak berlebihan. Menghemat bahan bakar cukup dengan berpikir sebelum melakukan perjalanan. Tentukan jalur tempuh yang paling pendek ke lokasi tujuan, atau dengan menstabilkan jalannya kendaraan kita juga bisa menghemat bahan bakar minyak (BBM).
 Menjaga lingkungan
Selain itu, beberapa aktivitas untuk menjaga lingkungan yaitu dengan membiasakan diri membuang sampah pada tempatnya, menghemat penggunaan plastik saat berbelanja dengan membawa tas belanja, juga menghemat sampah plastik dengan tidak banyak membeli barang yang terbungkus plastik/sachet, membiasakan untuk membawa botol minum isi ulang, juga menghemat penggunaan tissue, sampai rajin menanam pohon di rumah masing-masing. Bisa juga bergabung dengan komunitas lingkungan agar kita dapat melakukan aksi besar secara bersama-sama.
Bayangkan saja jika aktivitas positif menjaga bumi tersebut kita lakukan secara rutin; Berapa jumlah energi yang telah kita kurangi penggunaannya? Berapa biaya yang dapat kita hemat perbulannya? Dan yang lebih luar biasa lagi ketika semua orang di dunia melakukannya. Pasti kita akan mendapat manfaat yang signifikan untuk keadaan bumi yang lebih baik. Subhanallah, sungguh kita menciptakan rumah yang nyaman bagi diri kita sendiri dan semua makhluk.
Sungguh Allah telah memberikan kita anugerah yang begitu besar, yaitu alam ini dengan segala isinya, yang patut kita jaga. Allah memberi kita kecerdasan dan hati yang seharusnya kita syukuri dengan berbuat baik, bukan malah membuat kerusakan dengan memanfaatkan kecerdasan dan teknologi tanpa berpikir panjang. Kemana hati nurani kita? Yuk, berpikir lebih bijak dan bertindak dengan positif demi kedamaian kehidupan. Semoga kehidupan kita bisa menjadi rahmat bagi alam (rahmatan lil’alamiin) dan sebagai bekal kehidupan di akhirat kelak. Amin ya rabbal’alamin.

Bencana, Solidaritas, dan Politik

SEJAK memasuki 2014 ini, bencana alam berupa banjir melanda sejumlah daerah Indonesia, tidak hanya di Jawa, tetapi juga di luar pulau Jawa. Jika ditelusuri tentu banyak sekali penyebab banjir yang sebenarnya timbul dari ulah manusia sendiri. Penebangan hutan secara liar (illegal logging), pendirian bangunan-bangunan di tempat resapan air dan membuang sampah tidak pada tempatnya merupakan di antara yang menyebabkannya. Di saat alam bereaksi atas semua perlakuan itu, siapa yang mampu menolaknya?
Mau tidak mau mereka yang berusaha menjaga kelestarian pun turut menjadi korbannya dan dirugikan atas hal itu. Kemudian pemerintah menjadi pihak yang juga disalahkan karena dianggap tidak bisa mengurus daerahnya dengan baik. Meski telah banyak kepala daerah yang mendapatkan kritik tajam dari berbagai pihak yang kadang sarat kepentingan, masih ada juga yang justru terlihat bersih dari cacian. Sebut saja Bupati Banyuwangi, di Jawa Timur, yang justru merasa diuntungkan dengan hadirnya banjir di daerahnya.
Banjir yang melanda sejumlah kawasan di Banyuwangi baru-baru ini telah menyebabkan hasil panen beberapa tanaman di sana justru melimpah, misalnya saja belimbing. Musibah pun akhirnya menjadi anugerah yang luar biasa. Tampaknya apa yang terjadi di Banyuwangi ini perlu menjadi bahan kajian daerah-daerah lain, sehingga tidak melulu merugi ketika banjir tanpa persetujuan datang ke daerahnya.
Dalam keadaan seperti ini, bukanlah tindakan yang bisa dikatakan benar jika kita mencari pihak yang patut disalahkan. Ketika bencana sudah terjadi dan banyak rakyat menjadi korban, mencari “kambing hitam” dengan saling menghujat dan menyalahkan, bukanlah solusi yang bisa mengubah keadaan menjadi lebih baik.
Ironisnya, justru kebanyakan orang menyalahkan pihak ini dan itu, mencaci tindakan ini dan itu dan juga menjadikan keadaan yang melanda masyarakat untuk memojokkan pihak lain yang tengah berkuasa. Sehingga apa yang dilakukan oleh mereka seakan menjadi tidak pernah benar dan selalu salah. Di tengah keadaan masyarakat yang tengah carut marut karena bencana yang melandanya jelas bukan itu yang dibutuhkan.
 Solidaritas masyarakat
Meski banjir yang terjadi kali ini di berbagai wilayah Indonesia cukup besar dengan disebutnya sebagai bencana nasional dan rakyat begitu menderita dengan adanya semua ini, ada nilai yang perlu kita ambil sebagai hikmah dan pelajaran. Tanpa diminta masyarakat dari kalangan ekonomi atas, menengah dan bawah yang terdampak banjir berkumpul menjadi satu dalam tempat pengungsian. Mereka yang awalnya tak kenal atau bahkan mungkin begitu acuh pada orang lain, mau tak mau harus mau menjadi satu dan mengenal orang-orang di sampingnya.
Secara perlahan jiwa-jiwa yang penuh keangkuhan pun sadar dengan sendirinya karena penderitaan yang dialaminya yang sama dengan orang-orang lainnya. Rasa senasib menyatukan mereka dalam sebuah hubungan keakraban dan kebersamaan yang saling membantu satu dengan lainnya. Meski sebenarnya sikap ini tidak semestinya baru muncul ketika telah mengalami penderitaan.
Adalah sikap solidaritas yang kini tengah terjadi dalam masyarakat korban bencana alam. Secara etimologi solidaritas bermakna kesetiakawanan atau kekompakan. Dalam bahasa Arab disebut tadhamun, yaitu ketetapan dalam hubungan atau takaful (saling menyempurnakan/melindungi). Selanjutnya dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), solidaritas diambil dari kata solider yang berarti mempunyai atau memperlihatkan perasaan bersatu. Maka solidaritas dalam masyarakat jelasnya adalah kebersamaan yang terjadi dalam masyarakat dimana di dalamnya terkandung nilai kesetiakawanan dan kekompakan.
Dengan demikian, kita bisa menarik kesimpulan bahwa solidaritas merupakan sikap kemanusiaan yang mengandung nilai adiluhung (mulia/tinggi). Tidak hanya antar korban terdampak bencana, sikap yang menunjukkan solidaritas juga muncul dari masyarakat lain yang tidak terkena bencana. Mereka yang merasa memiliki kerabat dekat atau yang bahkan tak memiliki kerabat sama sekali di lokasi bencana mulai berdatangan memberikan bantuan. Tidak hanya harta benda, tenaga pun juga diberikan demi keselamatan sesamanya.
Di tengah masih banyaknya permasalahan yang menghambat datangnya bantuan dari pemerintah, uluran tangan sesama adalah suatu hal yang mampu membantu para korban tidak hanya secara fisik tapi juga psikis. Kepedulian yang ditunjukkan secara lngsung kepada para korban mau tidak mau akan membuat penderitaan yang dialami berkurang meskipun mungkin tidak banyak.
 Kepentingan politik
Bencana alam pun akhirnya menjadi sarana untuk saling menolong dan memperkuat ukhuwah antar masyarakat, di samping pemerintah yang memikirkan solusi terbaik bagi warganya yang menderita akibat bencana. Sayangnya tidak semua bantuan yang diberikan benar-benar datang atas dasar kepedulian pada sesama.
Di tahun politik 2014 ini yang mana pemilihan umum akan segera dihelat, bencana justru menjadi sarana bagi mereka memanfaatkan peluang sebaik-baiknya untuk kampanye. Bukankah sangat ironis, ketika orang lain tengah tak menentu kehidupannya di tengah bencana justru mereka memanfaatkan untuk kepentingan kekuasaan.
Tenda-tenda yang didirikan dengan gambar partai atau bantuan yang diatasnamakan partai jelas mempunyai tujuan lain selain membantu korban. Jika mereka dari kelompok partai tertentu memang peduli, tidak semestinya bantuan tersebut diikuti dengan kepentingan kekuasaan atau elektabilitas partai.
Harusnya mereka sadar bahwa yang terjadi di masyarakat itu tidaklah tepat untuk sarana kampanye. Karena tindakan tersebut, tak ayal ada masyarakat yang menolak didirikannya posko bantuan dengan simbol partai politik yang menyertai. Tindakan masyarakat tersebut dapat dinilai benar dan menunjukkan sikap tegas dalam menghadapi mereka yang berkepentingan.  
Dengan kejadian di atas kita berharap orang-orang di partai politik sadar bahwa yang dibutuhkan rakyat adalah kepedulian dan solidaritas yang sebenarnya. Bukan kepedulian yang syarat akan kepentingan partai yakni perolehan suara dalam pemilu dan solidaritas yang dijadikan kedok.
Selanjutnya kita berharap pemimpin dan wakil rakyat nantinya adalah mereka yang benar-benar memiliki solidaritas yang tinggi. Sehingga nilai-nilai kemanusiaan benar-benar bisa ditegakkan. Semoga!  

Berpolitiklah Secara Sehat dan Santun

JELANG Pemilu Legislatif 2014, yang kurang dari tiga bulan lagi, hawa panas politik berupa aksi pengeroyokan dan pembakaran sepertinya menjadi trend tersendiri. Seperti dialami Muhammad Azmuni alias Bodrex, caleg DPRA dari Partai Aceh (PA) yang mobilnya musnah dibakar OTK alias orang tak dikenal (Serambi, 20/1/2014). Belum lagi aksi pengeroyokan dan penculikan yang dialami Ramli dan Jufriadi, keduanya kader Partai Nasional Aceh (PNA), sepertinya semakin meningkatkan temperatur politik di daerah ini.
Dalam perebutan kekuasaan, ini memang bukanlah peristiwa baru. Aksi ‘bakar-bakar’ ini bahkan sudah dimulai dari tahun sebelumnya, lalu menyulut hingga tahun ini. Tidak tahu kapan api itu padam. Karena bisa jadi, usai pemilu api itu masih ‘menyala’. Ya, mungkin dinyalakan oleh mereka-mereka yang kalah dalam pertarungan politik.
Namun dari beberapa peristiwa yang terjadi, terlihat bahwa PA dan PNA lah yang kerap menjadi objek sasaran, baik pengeroyokan kader partai ataupun pembakaran harta bendanya. Kejadian-kejadian tersebut tentunya bukan terjadi dengan sendirinya dan tanpa sebab. Biasanya ada alasan kepentingan di balik itu sehingga tindakan anarkis pun terjadi. Misal, rasa tidak suka, permusuhan, ataupun khawatir kalah saingan. Karena seorang OTK pun tidak akan melakukan hal bodoh jika tidak ada yang memberi mandat atau hanya karena iseng semata.
 Acara ‘bakar-bakar’
Sebenarnya acara ‘bakar-bakar’ tidak akan menjadi masalah, itu tergantung pada apanya yang dibakar dan punya siapa yang dibakar. Misalnya, tahun lalu kami para siswa Sekolah Demokrasi Aceh Utara (SDAU) membuat acara bakar-bakar. Dalam acara tersebut tentunya tidak ada yang tersakiti ataupun merasa dirugikan, karena yang kami bakar adalah ayam kalasan dan bukan milik orang lain. Tidak ada unsur kemarahan apalagi harus dilaporkan ke polisi, karena memang tidak mengganggu dan merugikan orang lain. Yang ada hanyalah efek kenyang dan menyenangkan.
Nah, beda dengan aksi ‘bakar-bakar’ seperti yang terjadi di atas. Dalam aksi tersebut yang dibakar adalah mobil asli (bukan mobil-mobilan), dan poin pentingnya adalah mobil itu milik orang lain. Jika membakar mobil sendiri saja dianggap sebagai sebuah tindakan yang merugikan, apalagi yang dibakar adalah punya orang lain. Maka dapat ditebak, pembakaran yang terjadi selanjutnya adalah membakar emosi yang punya.
Aksi-aksi tersebut seolah menunjukkan bahwa praktik politik di negeri memang terkesan masih bar-bar. Dimana untuk perebutan kekuasaan, nyawa dan harta benda menjadi korban keganasan dari ambisi demi sebuah kursi. Tidak hanya itu, aksi tersebut juga menggambarkan ketidakdewasaan para pelaku politik yang masih akrab dengan perilaku-perilaku yang merendahkan. Sampai rakyat pun mual dibuatnya. Sekali lagi, ini dilakukan demi sebuah kedudukan bernama ‘kursi.’
Mungkin tidaklah mengherankan mengapa hari ini banyak yang mengejar kursi tersebut. Karena bisa dibilang ia adalah ‘kursi ajaib’. Bagaimana tidak, ketika seseorang berhasil menduduki satu ‘kursi ajaib’ itu, maka ia juga bisa membangun pabrik kursi. Tidak hanya kursi, mungkin ia juga bisa memproduksi meja, tempat tidur, bahkan lemari. Ajaib bukan? Jika begini keadaannya, maka istilah “apalah arti sebuah kursi” tentu saja tidak akan dianggap berbanding lurus dengan “apalah arti sebuah nama”.
Kursi kekuasaan memang begitu menggoda. Tetapi untuk mendudukinya, tentu saja tidak dibenarkan menghalalkan segala cara. Termasuk mengamuk dengan benda mati. Nilai etika yang diajarkan sejak kecil di sekolah dan madrasah tentu saja tidak hanya cukup tertera di rapor, tapi juga diterapkan. Karena jika tidak, maka tidak heran jika hari ini banyak orang berkata bahwa berbicara etika politik seperti berteriak di gurun pasir.
Padahal dalam etika partai politik sendiri, beda baju bukan berarti musuh. Ketika saya menggunakan baju biru, maka saya tidak boleh marah dengan mereka yang menggunakan warna merah, kuning, atau hijau. Apalagi kemudian membakarnya, karena belum tentu mereka yang menjadi musuh saya. Begitu juga dengan partai politik. Setiap ia berhak menang, tapi jangan memandang partai lain sebagai musuh yang harus ditaklukkan. Termasuk dimulai dari menaklukkan harta bendanya dari barang mewah menjadi rongsokan.
Jika kejadian-kejadian di atas benar terjadi karena alasan perebutan kekuasaan, maka ini adalah salah satu bentuk kegagalan kepemimpinan bahkan sebelum kepemimpinan itu dimulai. Jika begini kejadiannya, maka rugi saja menghafal butir-butir Pancasila sampai mulut berbusa. Padahal pada butir kedua sudah cukup jelas tertera bahwa kemanusiaan haruslah adil dan beradab. Sedangkan pengeroyokan dan pembakaran mobil adalah bentuk ketidakmanusiaan yang dekil dan berasap.
 Luntur kepercayaan
Potret tingkah laku seperti ini pun hanya akan semakin mencoreng adang hitam dunia perpolitikan. Tak hanya itu, keadaan seperti ini pun hanya akan membuat rakyat jengah dan luntur kepercayaannya kepada caleg-caleg atau partai yang bertikai. Bagaimana nantinya bisa meraih suara dan simpati masyarakat untuk memilih, jika aksi-aksi yang jauh dari kata keadaban seperti itu masih dipertontonkan.
Padahal dalam hal ini, kepemimpinan moral dan intelektual menjadi syarat utama sebelum berniat menduduki kekuasaan. Seperti yang dikatakan Antonio Gramsci (1891-1937) seorang filsuf Italia, bahwa kepemimpinan haruslah dijalankan bahkan sebelum merebut kekuasaan pemerintah. Jika itu saja tidak ada, bagaimana bisa memimpin rakyat banyak dan segala persoalannya. Dari persoalan miskin sampai harga bensin. Dari persoalan uang sampai harga bawang.
Dari itu, menjadi seorang pemimpin sama seperti orang berniat menikah, ia harus siap lahir batin. Tak baik hanya siap secara lahir dengan menyiapkan biaya untuk kampanye saja, tapi juga perlu menyiapkan batin berupa moral kepemimpinan dan intelektual. Ini menjadi sebuah persiapan penting karena dua hal tersebut juga ikut menentukan kualitas seorang pemimpin.
Berhubung ‘pesta pejabat’ (pemilu) pun semakin dekat, bagi yang mencalonkan diri sebagai wakil rakyat baiknya segera mempersiapkan diri dengan matang. Berhenti mempertontonkan aksi anarkis, adu jotos, atau pun ‘jual diri’ di pohon dan tiang listrik. Sudah saatnya turun ke masyarakat dan menyampaikan langsung visi-misi yang selama ini hanya ada di alam rencana. Lakukan sesuatu yang membuat Anda terlihat ada di tengah para konstituen dan rakyat yang Anda wakili. Jadi, berpolitiklah secara sehat dan santun!

Caleg Bergizi

PADA 25 Januari 2014, Indonesia memperingati Hari Gizi Nasional (HGN) ke 54. Peringatan ini tidak terlepas dari peran almarhum Prof. Poerwo Soedarmo yang sejak 50-an telah merintis dan memomulerkan masalah pentingnya gizi dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Beliau juga yang memunculkan istilah “Empat Sehat Lima Sempurna” dalam memenuhi kebutuhan gizi. Penetapan HGN yang mulai diperingati pada 1960, didasarkan pada pendirian Sekolah Djuru Penerang Makanan (SDPM) pada 25 Januari 1951.
Tahun 2014 ini yang kerap juga disebut sebagai tahun politik, di mana para calon anggota legislatif (caleg) --baik di tingkat kabupaten/kota, provinsi maupun pusat-- akan bertarung memperebutkan ‘kursi empuk’ dalam pemilu yang akan digelar pada 9 April nanti. Jauh-jauh hari ribuan caleg dari berbagai partai politik dan calon DPD telah memperkenalkan diri lewat beragam media guna menarik simpati rakyat yang memiliki hak pilih. Sebagai orang yang akan melaksanakan fungsi legislasi, anggaran dan pengawasan, anggota dewan haruslah orang-orang yang beriman, cerdas dan berbudi luhur.
 Asupan gizi
Selama ini masih banyak dijumpai oknum anggota dewan yang memiliki sifat negatif sehingga mencoreng wibawa dan kehormatan lembaga negara tersebut. Sifat jelek oknum anggota dewan dan sebagian masyarakat Indonesia lainnya, salah satunya tidak terlepas dari asupan gizi yang diperoleh sehari-hari. Status gizi masyarakat ditentukan oleh makanan yang dikonsumsi. Pola makan yang tidak seimbang mengakibatkan masalah bagi kesehatan, baik fisik maupun mental. Kekurangan asupan karbohidrat, protein, vitamin, mineral dan mikronutrisi dalam waktu lama mengakibatkan gizi buruk, begitu juga sebaliknya. Gizi seimbang ditandai dengan pola makan yang menyelaraskan berbagai kebutuhan tubuh sesuai dengan porsinya.
Riset Kesehatan Dasar 2010 menemukan rata-rata orang Indonesia kelebihan konsumsi karbohidrat (61% dari 50-60%) dan lemak (25,6% dari 25%), tapi kurang mengonsumsi protein (13,3% dari 15%) dari porsi gizi seimbang. Makan belum dianggap sempurna jika belum makan nasi, padahal kita baru saja melahap berbagai makanan sumber karbohidrat lainnya. Indonesia menjadi negara pengonsumsi beras tertinggi di dunia, yaitu mencapai 130 kg/kapita/tahun dari rata-rata dunia 60 kg/kapita/tahun. Di negara Asia lainnya konsumsi beras jauh di bawah Indonesia, misal Korea 40 kg/kapita/tahun, Jepang (50 kg), Thailand (70 kg), dan Malaysia (80 kg).
Kelebihan karbohidrat dan lemak bila tidak dibarengi dengan konsumsi sayur dan buah berakibat pada munculnya berbagai penyakit degeneratif seperti diabetes, kanker, jantung atau stroke. Data International Diabetes Federation menempatkan Indonesia sebagai negara dengan jumlah penderita diabetes ketujuh terbanyak di dunia. Ada 8,5 juta penderita diabetes di Indonesia dari 371 juta jiwa penderita diabetes dunia. IDF memperkirakan dua puluh tahun mendatang penderita diabetes di dunia melonjak sampai 552 juta jiwa. Di Aceh berdasarkan Riset Kesehatan Dasar 2007, prevalensi penderita diabetes mencapai 8,7% dari jumlah penduduk.
Jika konsumsi karbohidrat dan lemak masyarakat Indonesia berlebih, lain halnya dengan protein. Konsumsi protein masyarakat Indonesia masih dibawah standar dan tergolong rendah dibandingkan negara lainnya. Sebagai contoh konsumsi protein bersumber pangan hewani. Orang Amerika, Jepang, Inggris, dan Perancis mengonsumsi protein hewani 50-800 gram/kapita/hari. Orang Korea, Cina, Brazil, dan Filipina rata-rata 20-40 gram/kapita/hari. Sedangkan orang Indonesia, India, Bangladesh kurang dari 10 gram/kapita/hari. Rata-rata orang Indonesia hanya makan protein hewani 6 gram/kapita/hari.
Mencukupi kebutuhan protein minimal harian sebenarnya tidak terlalu sulit, kita dapat memerolehnya dari sebutir telur atau daging ayam. Telur adalah sumber protein hewani yang sangat baik bagi kesehatan, pertumbuhan, kecerdasan, dan produktifitas. Menurut The Huffington Post, telur termasuk dalam urutan pertama daftar pangan hewani yang tergolong tersehat di dunia. Penelitian terkini juga membuktikan makan telur dapat menurunkan risiko Penyakit Jantung Koroner (PJK) dengan membantu mencegah penggumpalan darah. Hasil ini membantah hasil penelitian era 70-80 an yang mengaitkan asupan kolesterol dengan peningkatan insiden PJK dan stroke serta merekomendasikan untuk membatasi makan telur (Sutawi, 2013).
Konsumsi telur masyarakat Indonesia masih di bawah negara-negara maju, bahkan dengan negeri jiran saja kita masih jauh tertinggal. Konsumsi telur orang Indonesia hanya 87 butir/kapita/tahun, masih dibawah Filipina (93 butir), Thailand (145 butir) dan Malaysia (311 butir) serta dari rata-rata dunia 150 butir. Di Aceh konsumsi telur masih dibawah rata-rata nasional. Data Diskeswannak Aceh tahun 2011 menunjukkan konsumsi telur masyarakat Aceh hanya 46 butir/kapita/tahun.
Rendahnya konsumsi protein hewani mengakibatkan perkembangan sel-sel otak tidak maksimal, tidak cerdas, perkembangan jiwa labil dan bersifat emosional, cenderung melakukan perbuatan tawuran dan merusak (Utoyo, 2012). Sutawi (2011) mengungkapkan, rendahnya konsumsi protein hewani bangsa Indonesia berpengaruh pada karakter bangsa yang sudah tidak bisa membedakan nilai (values) yang baik menurut standar logika (benar-salah), estetika (bagus-buruk), etika (layak-tidak layak), agama (dosa-haram-halal) dan hukum (sah-absah).
Sementara itu Setiawan (2013) melihat adanya benang merah antara skor Corruption Perception Index (CPI) dengan konsumsi protein (telur dan daging ayam). Merujuk pada skor CPI 2012, Indonesia berada di bawah Filipina, Thailand, dan Malaysia. Skor CPI Indonesia 32 (peringkat 118 dari 176 negara yang disurvei), Filipina 34, Thailand 37, dan Malaysia 49. Karenanya, menurut Setiawan kecukupan gizi tidak hanya untuk kesehatan fisik dan kecerdasan berpikir semata tapi juga kestabilan emosi, ketahanan mental dan kemuliaan moral.
 Nafsu konsumtif
Memenuhi kebutuhan gizi belum menjadi bagian dari gaya hidup bangsa Indonesia, termasuk orang Aceh. Sebagian besar masyarakat masih mengedepankan nafsu konsumtif dan memenuhi kebutuhan materi duniawi lainnya dibandingkan keinginan untuk sehat dan sejahtera dunia akhirat. Lihatlah bagaimana segolongan orang Aceh yang menghabiskan waktu sia-sia dengan berlama-lama di warung kopi. Ngomong broh putoh tanpa makna, seolah eksistensi dan citra diri bisa muncul dengan kongkow di cafe-cafe. Di antara golongan ini tidak sedikit yang menjadi caleg.
Kenali caleg anda sejak sekarang. Bagi caleg incumbent dapat dinilai dari kinerjanya selama menjabat. Apakah mereka selalu bersama rakyat dalam suka maupun duka atau hanya muncul menjelang Pemilu melalui janji-janji dan senyum manis yang menghiasi poster dan spanduk mereka. Bagi yang baru memulai peruntungan menjadi anggota parlemen terhormat, bisa dinilai dari kiprahnya dalam berbangsa dan bernegara selama ini. Lihat juga latar belakang pendidikan, keluarga, dan yang utama keimanan dan ketakwaannya terhadap Allah Swt.
Caleg cerdas dan berbudi luhur adalah caleg yang selalu berjuang untuk kepentingan rakyat, bukan sekadar mencari penghasilan di gedung dewan. Terlihat ada kaitan antara gizi dengan kecerdasan emosional dan kematangan intelektual seseorang. Karenanya dengan bergizi menjadikan kita sebagai manusia yang cerdas, kreatif, inovatif, produktif dan bermartabat. Bila asupan gizi sudah baik dan seimbang, maka masyarakat, para petinggi bangsa, termasuk anggota dewan tentunya bisa lebih cerdas dan kreatif dalam bekerja. Nah! Wallahu’alam.